Untuk itu Pemprov Sumbar perlu mengakomodir semua pihak. Ia mengaku, sebelumnya Pemprov Sumbar sudah menerima masukan dari petani, pedagang pengepul dan eksportir gambir dan sekarang dari pabrik industri gambir, sehingga menjadi lengkap.
Dari kunjungan ke pabrik PT Sumatra Resources International, pihak industri setuju dengan rekomendasi Pemprov Sumbar.
Yakni, industri mau untuk punya kebun sendiri. Mereka mau distandarisasi menjadi produk gambir Sumbar.
“Bahkan, dari rekomendasi kami, mereka juga mau dipangkas tata niaga yang ada selama ini,”katanya.
Novrial tak menampik bahwa saat ini rantai tata niaga gambir itu masih sangat panjang. Ada petani, pengepul satu sampai tiga. Baru tiba pada industri. Kondisi itu jelas dapat menekan harga sampai di petani.
“Hasil pantauan kami, rantainya dari petani, pengepul satu sampai tiga. Baru sampai ke industri. Kondisi ini jelas menekan harga pada petani. Ke depan, bagaimana petani ini bisa langsung ke industri,” katanya.
Selain itu dengan adanya standar kualitas dan standar harga akan sangat menguntungkan petani. Petani bisa tahu harga di pedagang, begitu juga dengan standar kualitas yang harus mereka jaga.
“Selama ini industri tidak salah, petani juga tidak salah dengan kualitas produknya. Karena memang tidak ada aturannya,” katanya.
PT Sumatra Resources International saat ini mampu menyerap sebanyak 20 ton daun gambir setiap harinya. Daun gambir itu datang dari kebun rakyat yang berada di Kabupaten Limapuluh Kota.
Diketahui, saat ini harga gambir dengan kualitas tertinggi di harga pedagang Rp90 ribu per kilogram. Sedangkan kualitas terendah Rp55 ribu per kilogram.
Dedi salah seorang petani gambir di Pangkalan mengaku sangat setuju dengan pengaturan tat niaga gambir tersebut.
Karena saat ini, dirinya sering mendapatkan harga dari pedagang. Tidak ada opsi lain dalam memilih harga.
Dedi sendiri punya 2,5 hektare kebun gambir. Setidaknya bisa panen hingga satu ton setiap harinya. Dengan jumlah itu langsung dijual ke pengepul. Alasannya lebih cepat, dari pada diantar ke pabrik.
“Sekarang saya jual daun hanya Rp4 ribu per kilogram. Sementara di industri sudah Rp4,3 ribu per kilogram. Kalau sudah ada standarnya kami bisa tahu harga di pasar,” imbuhnya. (rdr)

















