Pengelolaan TPA Regional Payakumbuh oleh provinsi disebabkan Pemkot Bukittinggi pada 2013 meminta Pemprov Sumbar untuk membantu pengelolaan sampah karena tidak memiliki lahan untuk pembuatan TPA.
“Saat itu lahan yang tersedia di Kota Payakumbuh, maka karena sifatnya sudah lintas kabupaten/kota, maka Pemprov Sumbar bersedia untuk menfasilitasi dengan syarat. Salah satunya terkait tipping fee sebesar Rp80 ribu per satu ton sampah. Namun ternyata daerah hanya bisa memenuhi Rp20 ribu per ton sampah, sehingga Pemprov Sumbar terpaksa mensubsidi sebesar Rp60 ribu per ton sampah,” katanya.
Ia menyebutkan, kondisi itu sudah berlangsung sejak TPA Regional Payakumbuh dioperasikan Pemprov Sumbar sejak 2013, atau sudah sekitar 10 tahun.
“Karena kondisinya saat ini sudah over kapasitas, maka Pemprov Sumbar sejak awal 2023 sudah berkoordinasi dengan Kementrian PUPR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan kajian resiko TPA regional Payakumbuh,” katanya.
Kajian itu dibutuhkan karena sesuai dengan perundang-undangan untuk penutupan suatu TPA, harus ada hasil kajian penilaian resiko oleh Kementerian.
“Kita sudah bersurat, kalau tidak salah satu kali di awal tahun 2023, dan kedua waktu terjadinya longsor 20 Desember 2023. Kementrian PUPR sudah menjawab tanggal 27 Desember 2023. Isinya Dirjen BMCKTR Kementerian PU lewat Direktorat Sanitasi menyurati Balai Teknologi Sanitasi dan Balai Sarana Permukiman wilayah Sumbar untuk melakukan kajian indeks resiko ini,” katanya.
Direncanakan tim akan turun ke TPA Regional Payakumbuh pada 10-11 Januari 2024. Hasil kajian itu menjadi dasar untuk memutuskan TPA Regional Payakumbuh diperbaiki atau ditutup secara permanen. (rdr/ant)

















