Ia menyebut selama ini kerjasama dengan provinsi tetangga itu sudah terjalin dengan baik. Jika memiliki kesepahaman, kerjasama untuk pengolahan karet tentu juga bisa direalisasikan.
Meski demikian, masyarakat pemilik perkebunan karet juga harus mulai berbenah, karena berdasarkan informasi dari beberapa pabrik pengelolaan karet, kualitas karet milik masyarakat itu berada di bawah standar.
“Komoditas karet alam rakyat banyak yang bercampur dengan kayu, batu bahkan pupuk sehingga pabrik harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membersihkan. Akibatnya, harga jual karet dari petani ke pabrik juga menurun. Ini juga harus menjadi perhatian dari pemilik perkebunan karet,” katanya.
Saat ini menurut Novrial, berdasarkan informasi dari Dinas Pertanian dan Koperindag di beberapa daerah di Sumbar, salah satunya Dharmasraya, masyarakat memang tidak lagi menakik getah karet karena harga yang tidak sesuai.
Dengan kapasitas produksi per orang hanya 100 kg/minggu, dengan harga karet asalan di tingkat petani Rp.8.000/kg, maka dengan sistem bagi hasil dengan pemilik kebun, upah bulanan yg diterima hanya Rp.400.000/minggu atau Rp.1.600.000/bulan, jauh di bawah UMP.
Perkebunan karet di Sumbar tersebar di beberapa daerah diantaranya Kabupaten Pasaman, Solok Selatan, Dharmasraya, Sijunjung, Limapuluh Kota, dan ada juga di Kota Padang.
Secara keseluruhan lahan perkebunan karet di Sumbar pada 2022 mencapai 180.213,09 hektare. Dari luas lahan itu, produksi karet di Sumbar pada tahun 2022 mencapai 156.486,20 ton. (rdr/ant)

















