ISLAMI, RADARSUMBAR.COM – Ibnu Hibban (Muhammad bin Hibban Al-Busti), seorang ilmuwan muslim keturunan Arab, fukaha, ahli hadis, linguis, ahli geografi, ahli kedokteran, astronom, sejarawan, mutakalim, dalam salah satu bukunya yang berjudul “Shahih Ibnu Hibban”, menulis sebuah hadits tentang tujuh perkara yang ditanyakan Nabi Musa kepada Allah subhanahu wata’ala.
Ibnu Hibban menulis sebuah hadits, “Dari Abu Hurairah secara marfu’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda, “Musa bertanya kepada Rabb-nya ihwal tujuh perkara yang dia sangka hanya dimilikinya, sedang perkara yang ketujuh tidak disukai Musa.”
Pertama, Musa bertanya, “Ya Rabb, ayyu ibaadika ittaqa?” (Wahai Rabb! Siapakah hamba-Mu yang paling bertakwa?).
Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, dan itu wajar karena Musa adalah nabi, dan kaum yang dihadapinya adalah kaum yang sangat ingkar yaitu kaum Bani Israil atau kaum Yahudi.
Namun Allah tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa. Allah menjawab, “Allazi yasykuru wala yansa”, (orang yang paling bertakwa adalah) yang selalu ingat kepada-Ku dan yang tidak pernah lupa.
Kedua, Musa bertanya, “Fa ayyu ibaadika ahda?” (Siapa hamba-Mu yang paling mendapat petunjuk?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena dia memang mendapat petunjuk langsung dengan turunnya Kitab Taurat kepadanya.
Namun tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa. Allah menjawab, “Allazi tataba’a alhuda” (Orang yang paling mendapat petunjuk yaitu) yang mengikuti petunjuk, yaitu petunjuk dari Allah dan Rasul.
Ketiga, Musa bertanya, “Fa ayyu ibaadika ahkam?” (Siapa hamba-Mu yang paling bijaksana). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak menjawab begitu.
Allah menjawab, “Allazi yahkumu linnasi maa yahkumu linafsihi?” (Orang yang paling bijaksana yaitu) yang memberi keputusan terhadap manusia seperti dia memberi keputusan untuk dirinya sendiri.
Keempat, Musa kembali bertanya, “Fa ayyu ibaadika a’lam?” (Siapa hamba-Mu yang paling berilmu?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena Nabi Musa menerima langsung wahyu dari Allah, tetapi Allah tidak menjawab begitu.
Jadi meskipun ia seorang doktor, seorang profesor, tapi ia berhenti belajar, berhenti membaca, berhenti menambah ilmu, maka sesungguhnya ia bukan orang yang paling berilmu.
Allah menjawab, “Aalimu laa yasyba’u minal ilmi yajmau ilmannasi ilaa ilmihi” (Orang berilmu yaitu) yang tidak pernah puas dari ilmu, yang menyatukan ilmu-ilmu manusia dengan ilmunya.
Kelima, Musa bertanya, “Fa ayyu ibaadi a’azza?” (Siapa dari hamba-Mu yang paling mulia?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena ia adalah nabi sehinga ia tentu orang yang paling mulia di tengah kaumnya.
Namun Allah tidak menjawab begitu, Allah menjawab, “Allazi isa qaddara afa” (Orang yang paling mulia yaitu) yang ketika mampu membalas, dia malah memilih untuk memaafkan.
Keenam, Musa bertanya, “Fa ayyu ibaadika agna?” (Siapa pula hamba-Mu yang paling kaya?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa.
Allah menjawab, “Allazi yarda bima uutiya” (Orang yang paling kaya yaitu) yang rida atas apa yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Ketujuh, Musa bertanya lagi, “Fa ayyu ibaadika afqaru?” (Siapakah hamba yang paling fakir?). Perkara ketujuh yang ditanyakan ini tidak disukai oleh Nabi Musa. Ia tidak mengharapkan Allah menjawab, “Kamu wahai Musa.”
Dan Allah menjawab, “Zaahibul mankusin” (Orang yang paling fakir yaitu) yang merasa serba kekurangan. Sudah punya banyak harta, tapi masih merasa kurang.

















