“Karena itu, pemberian gelar yang berasal dari LKAAM sebagai organisasi, menurut hemat kami tidak sesuai dengan ‘cupak jo gantang’ adat Minangkabau.”
“Bila dipaksakan maka tentu telah malampaui ‘barih jo balabeh’ wilayah kewenangan organisasi bila dipahami dari peran dan fungsi ‘limbago adaik’ dan ‘limbago rajo’ yang selama ini sudah sama dimaklumi,” tulis surat tersebut.
Kalaupun akan dicarikan gelar dari salah satu suku di Minangkabau dengan proses ‘tabang manumpu hinggok mancakam’ dengan mengisi ‘gantang nan tatagak jo manuang limbago nan ado’, itu pun hanya sekedar menerima ‘gala mudo’ bukanlah ‘gala sako’.
“Di sisi lain, perlu juga dipertimbangkan bahwa pemberian ‘gala mudo’ tersebut bisa saja disalahpahami dan akan menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi yang
menerima,” jelasnya kemudian.
Kemudian, pemberian gelar adat pada masyarakat adat Minangkabau memiliki persyaratan dan kriteria tertentu yang ada dalam ‘ukua jo jangko’ supaya jangan sampai ‘bajua bamurah-murah’ demi untuk menjaga marwah Minangkabau.
“Oleh sebab itu, perlu diperhatikan standar dan kriteria pemberian gelar adat tersebut, apakah sudah dipakaikan dalam pemberian gelar yang direncanakan,” lanjutnya.
Dari perjalanan pemberian gelar yang direncanakan ini, sepertinya terkesan ‘gauang alah tadanga sabalun tabuah babunyi’, sehingga musyawarah tidak lagi dalam mancari ‘kato sapakaik’.
Itu tentu berakibat tidak elok untuk perjalanan suatu organisasi dan keharmonisan antar lembaga dalam ‘tungku tigo sajarangan’.
“Dengan pertimbangan hal-hal di atas, maka MUI Sumbar belum bisa berada di dalam ‘rencana nan tacurai tapapakan’ oleh LKAAM Sumbar dan kami berharap agar bisa dimaklumi,” tutup surat tersebut. (rdr)

















