Aditya menilai, ketersediaan sapi dalam negeri dipengaruhi oleh keterbatasan industri pembibitan sapi, rantai distribusi yang panjang, dan tingginya biaya transportasi dan logistik karena karakteristik negara kepulauan yang besar.
Pulau Jawa merupakan sentra produksi utama sapi, namun mayoritas sapi di Pulau Jawa digunakan sebagai sumber tenaga kerja, tabungan, atau status sosial dan bukan sebagai penghasil daging.
Dia menjelaskan sentra penghasil sapi selanjutnya berada di kawasan Indonesia timur dengan populasi sebesar 16 persen secara nasional. Namun angka kematian anak sapi di daerah tersebut relatif tinggi dan angka kelahirannya juga rendah.
Aditya mengatakan tahap distribusi yang panjang mempengaruhi harga daging sapi nasional. Sapi harus melewati tujuh hingga sembilan tahap distribusi dari peternak sampai ke konsumen dalam bentuk daging yang menyebabkan harganya menjadi tinggi. Selain itu, sapi juga juga rawan sakit akibat panjangnya proses dan ini akan menambah biaya yang diperlukan.
“Indonesia juga dihadapkan pada tantangan jarak sebagai negara kepulauan karena proses penyimpanan dan pengangkutan menjadi sangat panjang dan hal ini berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan,” kata Aditya.
Aditya merekomendasikan perbaikan seperti peningkatan kapasitas peternak dan penyederhanaan proses distribusi. Pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan dan saluran air diharapkan bisa memunculkan sentra-sentra produksi sapi yang baru. (rdr/ant)
















