Ke depan ia menilai tuddukat juga berpeluang sebagai penyampai pesan saat ada bencana alam dengan catatan harus ada kreativitas dan memastikan bunyi tersebut bisa dipahami bersama.
Tuddukat merupakan media penyampai informasi warga Mentawai menyerupai kentongan namun ukurannya jauh lebih besar dengan panjang hingga dua meter dan diameter sekitar 60 centimeter.
Tuddukat dipahat dari kayu kulim yang dikenal keras dan liat. Pada bagian tengah dibuat rongga untuk menciptakan nada yang khas.
Seperangkat tuddukat terdiri atas tiga gelondong kayu kulim yang bentuknya sama namun ukurannya berbeda kemudian letakan dibariskan sejajar di loteng beranda depan uma.
Tuddukat paling besar disebut ina, ukuran sedang sileleite dan yang paling kecil disebut toga. Masing-masing tuddukat punya nada tersendiri. Yang paling besar akan mengeluarkan bunyi vokal i dan u, yang menengah bunyi e dan o serta yang paling kecil vokal a menyerupai cara kerja kode morse.
Untuk memainkan tuddukat dipukul menggunakan dua kayu kecil berbentuk bulat yang disebut tetek.
Menurut Teteu Aikub Sakalio yang merupakan kepala suku Sakalio di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan tuddukat tidak boleh dibunyikan oleh sembarangan orang dan hanya kepala suku yang berhak memukulnya. “Ada uma pasti ada tuddukat sebagai tradisi budaya Mentawai,” katanya. (rdr/ant)

















