Data ini, kata Cesca, dipakai untuk mengukur perpindahan tanah. Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Communications Earth & Environment pada 11 April 2022, peneliti juga menganalisis data stasiun seismik dengan jarak yang lebih jauhjauh, di mana gempa bumi itu terjadi dari aktivitas gunung api bawah laut di Antartika.
Selain itu, menggunakan data satelit yang mengelilingi Bumi dengan menggunakan radar guna mengukur pergeseran permukaan tanah. Dipaparkan Cesca, kendati stasiun seismik yang berada di dekat pusat gempa bumi lebih sederhana, tempat ini efektif mendeteksi gempa terkecil yang terjadi.
Sementara, stasiun seismik yang jaraknya lebih jauh dapat memberikan gambaran rinci mengenai gempa berkekuatan besar. “Dengan menyatukan data ini, tim dapat membuat gambaran geologi mendasar yang memicu rangkaian gempa besar ini,” ucapnya. Menurut catatan yang ada, terdapat dua gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di dalam rangkaian itu.
Pertama, gempa bumi berkekuatan M 5,9 pada Oktober 2020 lalu. Kedua, gempa berkekuatan M 6,0 pada November 2020. Para peneliti menerangkan bahwa setelah gempa yang terjadi di bulan November, aktivitas seismik mulai berkurang.
Hanya saja, gempa bumi tampaknya telah menggerakkan tanah di Pulau King George sekitar 11 cm. Pihaknya menduga, pergerakan magma ke dalam kerak Bumi sebagian besar disebabkan adanya erupsi bawah laut. Namun, hingga saat ini belum ada bukti yang menunjukkan adanya erupsi gunung bawah laut.
Untuk mencari bukti itu, para peneliti perlu melakukan misi ke selat dan mengukur batimetri atau kedalaman dasar laut. Dengan begitu, mereka dapat membandingkannya dengan peta sebelumnya.
“Apa yang kami pikirkan adalah bahwa magnitudo 6 entah bagaimana menciptakan sejumlah rekahan dan mengurangi tekanan dari tanggul magma,” pungkas Cesca. (rdr/kompas.com)

















