Dalam kajian manajemen resiko, “repetan” gubernur selaku pemegang saham dapat memicu dua resiko besar. Pertama resiko likuiditas. Alasannya sederhana saja. Jika pemilik dan pemegang saham pengendali saja tak nyaman dan “marepet” bagaimana nasabah akan percaya untuk menempatkan dananya. Ingat, bank adalah lembaga yang sangat sensitive dengan informasi negative. Bisa saja “bola liar” itu menggiring Bank Nagari kedalam posisi sulit.
Penulis haqqul yakin pasca pemberitaan itu corporate besar yang selama ini menempatkan dananya di Bank Nagari menjadi risau dan manelepon lepon ke Bank Nagari. Tak tertutup kemungkinan pula manajemen Bank Nagari dalam seminggu belakangan terpaksa menjadi petugas “pemadam kebakaran” untuk meluruskan informasi kepada deposan. Kalau penasaran juga cobalah ditanya langsung ke manajemen Bank Nagari.
Kedua resiko reputasi. Ini juga tak kalah penting. “Repetan” gubernur tentulah ditanggapi dengan beragam. Bila dimata oknum ASN dan tukang sorak “repetan” Gubernur dipandang positif karena Gubernur sudah tegas dan lugas. Kondisi berbeda justru terpantau dipikiran public dan nasabah. Dimata nasabah dan public pesan yang sampai adalah ada disharmonisasi antara pemilik dengan pengurus perseroan. Ini sangat berbahaya bagi kelangsuangan sebuah bank.
Biarkan Proses Bisnis Berjalan
Mau konversi atau tidak, mau spin off atau tidak, janganlah disorong sorong juga secara politik apalagi menggiring giring opini publik. Biarkan proses bisnis itu berjalan secara alami. Teruntuk tuan tuan yang menjadi pemandu sorak konversi berhentilah menyorong nyorongkan Gubernur sehingga Gubernur terjebak offside seperti kemarin.
Kalau Gubernur terus disorong sorong seperti ini bisa memicu dugaan ada “udang dibalik batu”. Jangan pula sampai Gubernur sebagai pemegang saham pengendali di fit and profet pula oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena dipandang membahayakan lembaga perbankan. Sekali lagi biarkan proses bisnis itu berjalan sesuai rencana bisnis bank itu sendiri.
Ada yang mesti kita ingat, membangun sebuah bank taklah semudah membangun istana pasir. Kebijakan strategis taklah bisa dilakukan bak bimsalabim. Bank itu berkerja dan bergerak berdasarkan kajian. Bank melakukan sesuatu tentu harus berbasis kajian bisnis dan ini mutlak tak dapat ditawar tawar.
Ada proyeksi angka angka yang terukur, ada program kerja yang terencana, ada mitigasi resiko yang terproyeksi dengan baik. Tak saatnya lagi kebijakan strategis berpihak hanya pada keyakinan dan felling.
Sudahlah, semua pihak harus menahan diri. Baik yang pro ataupun yang kontra dengan konversi itu. Biarkan proses bisnis berjalan dan tempuhlah cara professional bersyariah. Ada banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan itu. Diantaranya, pertama setor saham sebagaimana amanat PP No 54/2017.
Toh Gubenur sebelumnya selaku pemegang saham sudah menyanggupi untuk untuk menjadi pemegang saham mayoritas. Artinya, Gubernur menjadi pemegang saham 51 persen. Tunaikanlah amanat regulasi itu. Apalagi hak sebagai pemegang saham mayoritas sudah dinikmati semenjak dua tahun yang lalu. Masak selama dua tahun hanya mau mendapatkan hak sementara kewajibannya tak kunjung ditunaikan.
Penulis melihat Amanat PP 54/2017 ini bisa menjadi jalan lapang untuk bersyariah. Andai Gubernur selaku pemegang saham menyetor sebesar Rp 1,1 Trilun dari kekurangan modal sesuai PP 54/2017 tersebut maka Unit Usaha Syariah (UUS Bank Nagari) yang ada saat ini “esok pagi” bisa dinaikan menjadi Bank Umum Syariah (BUS). Tak perlu lagi konversi, justru sebaliknya Sumbar bisa memiliki twin bank dan Pemprov bisa menjadi pemegang saham tunggal disitu.
Kalau berat menyetorkan uang sebanyak itu maka Pemprov sebagai pemegang saham mayoritas bisa saja menyetor dibawah itu. Ingat saat ini UUS Bank Nagari sudah memiliki modal kerja sebanyak Rp 225 Miliar. Artinya, Pemprov cukup menyetor Rp 775 Miliar lagi dan UUS bisa dinaikan kelasnya jadi Bank Umum Syariah (BUS). Ini termasuk jalan lapang dan kuat secara fundamental bisis untuk bersyariah.
Kedua, merger bisnis. Kalau kita di Sumbar ini betul betul ingin mewujudkan bank umum syariah di daerah maka opsi merger bisa menjadi salah satu jalan untuk mengatasi kebuntuan memenuhi modal minimum. Penulis haqqul yakin banyak investor yang mau. Apakah itu corporate yang sudah menjalani bisnis perbankan juga hingga organisasi keumatan lainnya. Kenapa tak dicoba merangkul Islamic Development Bank, Ormas Muhamadiyah dengan asset amal usahanya yang bejibun atau ormas islam lainnya.
Kedua opsi ini sudah pernah penulis sampaikan berulang ulang. Bukti digitalnya masih ada. Silahkan searching diinternet (baca : Nagari Islami Bank, www.padek.co, 31 Agustus 2021 dan buku Arok dek Punai Tabang Tinggi).
Sudahlah, hentikan cara cara pintas ini untuk bersyariah. Kita sangat setuju dengan Bank Umum Syariah. Namun wujudkanlah Bank Umum Syariah itu dengan cara dan proses bisnis yang benar, tepat, fundamental serta profesional. (**)

















