“Pendidikan tanpa cinta akan kehilangan ruhnya. Agama seharusnya membebaskan manusia untuk berkreasi dan berkontribusi bagi peradaban,” kata Menag.
Ia juga menyinggung praktik pendidikan di sejumlah negara maju, seperti Finlandia, yang menempatkan guru, murid, dan orang tua dalam relasi yang setara. Pendekatan tersebut dinilai relevan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Indonesia.
Nasaruddin menegaskan pentingnya peran Kementerian Agama dalam merumuskan konsep pendidikan Pancasila yang berakar pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia menolak dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum.
Sebagai contoh, ia menyinggung kejayaan Baitul Hikmah pada masa peradaban Islam klasik yang mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
“Pendidikan umum harus memiliki fondasi nilai keagamaan agar tidak melahirkan manusia sekuler, tetapi tetap profesional dan berintegritas,” ujarnya.
Menag mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja secara konseptual dan kontekstual dalam menyempurnakan kurikulum pendidikan Islam.
“Kurikulum cinta adalah proses berkelanjutan untuk melahirkan insan kamil yang beriman, berilmu, dan berkeadaban,” katanya. (rdr/ant)
















