Ia juga mengingatkan bahwa saat ini masih terdapat 23 kabupaten/kota di Sumatra yang berstatus tanggap darurat. Sementara itu, daerah lain di luar Sumatra juga diminta tetap waspada, mengingat banjir besar sempat terjadi di Kalimantan Selatan dan genangan masih dilaporkan di sejumlah wilayah Jawa Barat.
BNPB menekankan pentingnya keberanian kepala daerah dalam menetapkan status siaga atau tanggap darurat bencana. Menurut Suharyanto, penetapan status melalui kaji cepat justru akan mempercepat dukungan pemerintah pusat, baik berupa logistik, peralatan, maupun anggaran melalui dana siap pakai.
“Jangan ragu menetapkan status. Dengan SK siaga atau tanggap darurat, bantuan pusat bisa segera masuk. Regulasi sudah lengkap, tinggal keberanian mengambil keputusan,” katanya.
Pada fase tanggap darurat, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak menjadi prioritas utama, terutama dalam 72 jam pertama atau minimal 48 jam sambil menunggu dukungan lanjutan dari pemerintah pusat.
Selain itu, pemerintah daerah diminta aktif melakukan patroli dan mitigasi di wilayah rawan, khususnya sepanjang daerah aliran sungai dan kawasan lereng. Jalur evakuasi, sistem drainase, serta komunikasi peringatan dini kepada masyarakat harus dipastikan berfungsi optimal.
“Longsor dan banjir sering terjadi tiba-tiba. Golden time sangat pendek. Jika hujan lebat lebih dari tiga jam, warga di lereng dan bantaran sungai harus segera dievakuasi,” ujarnya.
Menutup arahannya, Suharyanto menegaskan bahwa kesiapsiagaan bencana merupakan tanggung jawab bersama. Sinergi pemerintah daerah, TNI, Polri, kementerian/lembaga, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci menekan risiko dan dampak bencana, khususnya pada periode libur Natal dan Tahun Baru serta awal 2026. (rdr)















