MK menilai pemberian status setingkat menteri kepada Kapolri berpotensi menjadikan institusi Polri lebih dekat dengan kepentingan politik Presiden, padahal UUD 1945 menegaskan Polri sebagai alat negara yang harus berada di atas semua kepentingan, termasuk kepentingan Presiden.
“Dengan memosisikan Kapolri sebagai anggota kabinet, hal itu jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” kata Arsul.
Mahkamah juga menilai permohonan pemohon dapat menggeser kedudukan jabatan Kapolri sebagai jabatan karier profesional. Kapolri, menurut MK, memang memiliki batas masa jabatan, tetapi tidak ditentukan secara periodik dan tidak otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden.
“Kapolri dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan evaluasi Presiden sesuai peraturan perundang-undangan,” ujar Arsul.
Ia menambahkan jika MK memberikan pemaknaan baru seperti yang dimohonkan, hal itu justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian dan pemberhentian Kapolri.
“Dengan demikian, dalil para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucapnya. (rdr/ant)

















