Suharyanto menyebut, banyaknya bangunan yang roboh saat gempa terjadi umumnya disebabkan oleh tidak terpenuhinya standar konstruksi tahan gempa. Ia mengingatkan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan untuk menjadikan hal ini sebagai perhatian serius.
“APBN dan APBD memang terbatas, namun penguatan struktur bangunan bisa dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan,” katanya.
Ia juga mencontohkan gempa Cianjur pada 2022 lalu yang meski berkekuatan relatif kecil—yakni magnitudo 5,6—namun berdampak besar, dengan sekitar 90 ribu rumah rusak, termasuk 37 persen di antaranya adalah bangunan sekolah.
“Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, bangunan di atas tujuh lantai umumnya sudah memenuhi standar tahan gempa. Tetapi bangunan di bawah itu banyak yang belum,” ungkapnya. (rdr/ant)

















