“Kami telah menyalurkan lebih dari 15.000 bibit kopi kepada 80 penerima manfaat,” jelas Delpa Wardi, Ketua LPHN Unggan.
Salah satu pendekatan paling berdampak dalam menjaga kelestarian hutan di Nagari Unggan adalah mengalihkan 80 buruh pengangkut kayu menjadi petani kopi.
LPHN menjalankan pendekatan ini dengan memberikan edukasi langsung terkait risiko lingkungan akibat pembalakan liar. Pendekatan ini tidak mudah, sebab selama bertahun-tahun hutan telah menjadi sumber utama ekonomi masyarakat setempat.
Oleh karena itu, diperlukan upaya bertahap yang mencakup sosialisasi terus-menerus, seperti edukasi banjir dan longsor yang semakin sering terjadi, pengenalan hutan nagari, hingga fungsi dan kegiatan yang dapat dilakukan berdasarkan zonasi kawasan yang telah disepakati.
Melalui dukungan hibah yang telah diterima, LPHN memberikan bantuan bibit kopi kepada pelaku pembalakan liar untuk ditanam dan dikelola, serta memberikan pelatihan budidaya kopi mulai dari proses tanam hingga pengolahan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Proses ini tentu tidak memberikan hasil secara instan. Diperlukan waktu dan peningkatan kapasitas masyarakat agar mampu mengelola usaha kopi secara berkelanjutan.
Harapannya, dengan peralihan mata pencaharian ini, masyarakat yang sebelumnya bergantung pada hasil kayu dapat beralih menjadi petani kopi yang mengelola lahan secara agroforestri.
Sistem agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat ini memadukan tanaman kopi dengan pepohonan hutan yang tetap dilestarikan. Hasilnya, bukan hanya ekonomi warga saja yang meningkat, tetapi fungsi ekologis hutan juga tetap terjaga.
Saat ini, aktivitas perambahan hutan di Nagari Unggan telah mengalami penurunan yang signifikan. Banyak buruh pengangkut kayu yang perlahan meninggalkan pekerjaan lama mereka dan mulai beralih ke sektor agroforestri, khususnya budidaya kopi.
Mereka kini lebih sering terlihat mengelola ladang kopi daripada melakukan aktivitas penebangan. Perubahan ini memberikan dampak positif yang nyata terhadap kondisi lingkungan di wilayah hulu.
Secara bertahap, masyarakat mulai memperbaiki kondisi kawasan hulu melalui upaya reboisasi dan pengamanan hutan. Hasilnya, kualitas lingkungan semakin membaik dan kejadian bencana seperti banjir dan longsor kini jauh lebih jarang terjadi.
Transisi ini menunjukkan bahwa kesadaran kolektif masyarakat dalam menjaga hutan telah tumbuh, membawa manfaat tidak hanya bagi Nagari Unggan, tetapi juga bagi seluruh wilayah dari hulu hingga hilir.
Peran Nagari dalam Misi Besar Sumatera Barat
Nagari Unggan hanyalah satu dari 269 nagari di Sumatera Barat (Sumbar) yang turut menjaga hutan melalui skema perhutanan sosial. Gubernur Sumatera Barat menyampaikan bahwa Sumbar telah menjadi pelopor dalam kuantitas dan kualitas pengelolaan perhutanan sosial nasional.
Tercatat 259 kelompok perhutanan sosial aktif, yang setiap tahunnya mendapat pelatihan dan pengembangan dari pemerintah dan mitra.
“Sumatera Barat serius dalam mendorong masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan agar bisa sejahtera tanpa merusak hutan.”
“Kita targetkan semua kabupaten bisa menjadi bagian dari provinsi hijau (green province),” ungkap Gubernur dalam kesempatan sosialisasi implementasi perhutanan sosial.
Berkat kontribusi besar masyarakat seperti di Nagari Unggan, Sumatera Barat mendapatkan dana Result-Based Payment (RBP) REDD+ dari Green Climate Fund (GCF) melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi nyata dalam penurunan emisi karbon dan pengurangan deforestasi.
Dalam acara Sosialisasi Implementasi RBP GCF REDD+ yang diselenggarakan pada 29 Agustus 2025 di Padang, Joko Tri Haryanto, Direktur BPDLH menyampaikan bahwa:
“Penurunan emisi tidak bisa hanya mengandalkan APBN dan APBD. RBP adalah bentuk pengakuan dan insentif global. Negara-negara maju harus membayar lebih untuk emisi mereka, dan wilayah seperti Sumbar adalah garda depan perlindungan iklim dunia.”
Keadilan Iklim di Sumatra Barat dimulai dari Tapak
Kisah Nagari Unggan adalah bukti bahwa keadilan iklim tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat akar rumput. Investasi iklim tidak akan berhasil tanpa keberpihakan kepada masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media, dan masyarakat itu sendiri menjadi kunci dalam mendorong perubahan.
Nagari Unggan telah membuktikan bahwa dengan kepercayaan, pendampingan, dan pengelolaan yang tepat, masyarakat mampu berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi, pelestarian lingkungan, dan penguatan ekonomi lokal.
Transformasi dari pelaku penebangan pohon menjadi petani kopi bukan sekadar perubahan profesi, melainkan simbol peralihan paradigma bahwa menjaga hutan tidak hanya mungkin, tapi menguntungkan.
Dengan semangat kolaborasi dan keseriusan dari semua pihak, Sumatera Barat terus melangkah menuju “Green Province“, bukti kelestarian hutan berjalan berdampingan dengan kesejahteraan masyarakat.
Dari kisah Nagari Unggan dan Sumatra Barat, dunia bisa belajar bahwa perubahan besar selalu dimulai dari tapak, dari komunitas yang bekerja dengan hati dan harapan. (rdr)

















