TALANG BABUNGO, RADARSUMBAR.COM – Kabut pagi turun seperti selimut tipis di atas sawah, ayam berkokok bersahut-sahutan dan angin berdesir melewati kebun kayu manis.
Begitulah pagi di Jorong Tabek, sebuah kampung di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, tepatnya di Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok. Sejuk, tapi juga pernah sangat sunyi—bahkan terlupakan.
Rakanian Rajo Bungsu, salah seorang sesepuh kampung, masih ingat betul bagaimana kehidupan enam puluh tahun lalu. Jalan kampung becek, pasar hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki berjam-jam, dan anak-anak harus menempuh perjalanan jauh untuk sekolah.
“Dulu kalau mencari nafkah, anak-anak disuruh menanam. Hasil tabungan ya dari bambu, kayu, gula aren. Memang miskin, tapi alhamdulillah selalu ada doa dan akal untuk bertahan,” kenangnya.
Ia tersenyum kecil, lalu menambahkan dengan bahasa kampungnya, “Walau miskin, asal hati senang jo ingek ka Allah, alah cukuik itu.”
Sehari-hari para lelaki turun ke sawah atau menoreh aren, sementara perempuan membuat anyaman, menjemur hasil kebun, atau memasak gula merah.”
“Semua serba sederhana, sekadar untuk bertahan hidup. “Itulah kisah kami, sampai akhirnya ada jalan lain terbuka,” ujar Rajo Bungsu.
Jalan Menuju Perubahan
Perubahan besar datang pada 2016. Wali Nagari menghubungi PT Astra International Tbk. untuk memperkenalkan potensi kampung ini.
Gayung bersambut, Tabek pun menjadi salah satu dari 1.500 Kampung Berseri Astra (KBA) di Indonesia. Namun Astra tidak serta-merta membawa semua jawaban.
“Mereka datang bertanya: mau berubah atau tidak? Jawabannya ada pada kami,” kata Kasri Satra, Ketua Penggerak KBA Tabek.
Perubahan dimulai dari hal paling dasar: pola pikir. Pengurus KBA memberi contoh dengan turun tangan membersihkan lingkungan, menanam pohon, atau memperbaiki jalan setapak.
Satu-dua warga ikut, lalu makin banyak yang tergerak. Program ini akhirnya menjadi milik bersama, bukan milik orang luar.
Dari situ, ekonomi pun bangkit. Dapur-dapur sederhana melahirkan UMKM Gula Semut yang memanfaatkan aren dan tebu. Produksi yang semula hanya 25 kilogram per hari kini mencapai 1 ton, bahkan tembus ke luar daerah.
“Dulu saya jual gula merah di pasar, paling dapat Rp50 ribu. Sekarang, dari gula semut, penghasilan bisa tiga kali lipat,” cerita Mak Unun sambil memperlihatkan kemasan gula semut yang siap dikirim.
Selain itu, berdiri Bank Sampah yang mengubah plastik menjadi barang bernilai, sementara sisa dapur dijadikan pupuk atau pakan maggot untuk budidaya ikan dan ayam.
Koperasi desa pun berkembang dengan aset mencapai Rp17 miliar, cukup untuk menopang modal usaha warga. Bahkan, warga tak perlu lagi bersusah payah untuk meminjam ke bank.
Bidang pendidikan ikut tersentuh. Rumah Pintar berdiri sebagai tempat anak-anak belajar bahasa Inggris, Jepang, seni, dan budaya. Astra memberi beasiswa untuk puluhan siswa setiap semester. Mahasiswa asal Tabek yang kuliah di luar daerah pun dilibatkan agar semangat ini terus berlanjut.
“Sekarang anak-anak berani bermimpi kuliah, bahkan ada yang bilang ingin kembali membangun kampung,” kata Yarni, salah satu penggerak perempuan KBA.
Tabek kini juga dikenal sebagai destinasi wisata berbasis pengalaman. Wisatawan datang bukan hanya untuk melihat pemandangan, tapi ikut belajar membuat gula semut, menanam di kebun, atau menghadiri festival budaya lokal.
“Wisata ini bukan sekadar hiburan, tapi cara menjaga alam dan hidup rukun,” ujar Kasri.
Delapan tahun setelah perjumpaan dengan Astra, wajah Tabek benar-benar berubah. Jalanan lebih rapi, rumah lebih kokoh, anak-anak bisa sekolah dengan tenang, dan warga tak lagi malu menyebut asal kampungnya.
Dari cerita getir Rakanian Rajo Bungsu tentang masa lalu, hingga kebanggaan Kasri di masa kini, Tabek sudah menempuh perjalanan panjang.
“Dulu kami kampung termiskin di Sumatera Barat. Sekarang, kami berdiri di atas kaki sendiri,” ucap Kasri dengan mata berbinar.
Kisah Jorong Tabek adalah bukti bahwa perubahan besar bisa lahir dari hati dan tangan sendiri. Astra boleh saja menjadi percikan api, tetapi api itu menyala dan terjaga berkat gotong royong warganya.
Dari sunyi di puncak bukit, Tabek kini telah menemukan cahaya mandiri. (***)

















