Klub yang sering tampil di prime time, yakni Sabtu dan Minggu akan lebih banyak dilihat publik dan otomatis menarik minat sponsor.
“Kalau Semen Padang FC terus dipinggirkan, dampaknya bukan hanya pada tim, tapi juga ekonomi masyarakat sekitar stadion yang menggantungkan hidup dari setiap pertandingan,” ujar Braditi.
Semen Padang FC bukan hanya klub sepak bola, melainkan bagian dari identitas masyarakat Minang.
Setiap kali Kabau Sirah berlaga di Stadion Haji Agus Salim, ribuan orang datang, mulai dari pedagang kecil, penjual atribut, tukang parkir, hingga pelaku UMKM di sekitar stadion.
“Kalau pertandingan jarang di akhir pekan, otomatis jumlah penonton turun. Banyak perantau yang tidak bisa pulang menonton. Artinya, pendapatan ekonomi masyarakat kecil ikut terdampak,” jelas Moulevey.
Di sisi lain, Semen Padang FC juga menjadi salah satu kebanggaan diaspora Minang di luar negeri.
Pertandingan akhir pekan sering menjadi momen berkumpul di berbagai komunitas perantau, baik di Malaysia, Timur Tengah, hingga Eropa. Dengan jadwal minim di akhir pekan, rasa kebersamaan itu ikut tergerus.
Tak kalah penting, ada pula dampak psikologis bagi para suporter. Suporter bukan sekadar penonton pasif, melainkan bagian integral dari klub. Ketika merasa klubnya diperlakukan tidak adil, muncul rasa kecewa, marah, bahkan frustrasi.
“Kami sebagai perantau Minang merasa dipinggirkan. Padahal, sepak bola adalah hiburan rakyat. Kalau sudah begini, bagaimana kami bisa menikmati liga dengan perasaan bangga? Justru yang ada hanyalah rasa kecewa,” ucap Braditi.
Braditi Moulevey bersama komunitas pecinta Semen Padang FC berharap PT LIB segera melakukan evaluasi menyeluruh.
Mereka juga meminta PSSI sebagai federasi untuk turun tangan memastikan tidak ada praktik yang merugikan klub tertentu.
“Sepak bola Indonesia sudah sering tercoreng oleh isu mafia dan ketidakadilan. Jangan biarkan hal ini berulang. Liga harus fair untuk semua klub, besar maupun kecil,” pungkas Braditi.
Ia mengatakan, kritik fans Semen Padang FC ini mencerminkan keresahan publik terhadap tata kelola sepak bola nasional.
Liga 1 bukan hanya panggung kompetisi, tetapi juga simbol keadilan, kebanggaan, dan identitas daerah.
Jika pengelolaan liga tidak transparan, maka yang dirugikan bukan hanya klub, melainkan seluruh masyarakat yang hidup dan bernapas bersama sepak bola. (rdr)

















