Sementara itu, Ilhamdi Putra dari LBH Pers Padang menambahkan, ancaman peretasan tidak hanya menyasar aktivis. Masyarakat umum pengguna media sosial saat ini pun tanpa disadari telah disusupi.
“Sadar atau tidak, data digital kita terus disusupi. Ironisnya, potensi pelanggaran hukum justru bisa datang dari penegak hukum itu sendiri,” jelasnya.
Fachri Hamzah, Trainer Keamanan Digital AJI, mengingatkan, serangan digital kini tidak hanya berupa doxing atau peretasan akun, tetapi juga berkembang ke bentuk yang lebih canggih.
Ia mencontohkan laporan SAFEnet yang menyebut mahasiswa menjadi kelompok paling rentan terhadap serangan digital.
“Kasus peretasan akun transportasi online milik pers mahasiswa di Lampung hingga penggunaan spyware Pegasus terhadap LBH Medan menunjukkan bahwa ancaman ini sangat nyata. Pegasus bisa masuk ke ponsel tanpa kita sadari,” katanya.
Selain itu, pembatasan akses internet serta manipulasi foto menggunakan kecerdasan buatan (AI) juga muncul sebagai ancaman baru yang bisa membungkam ruang demokrasi digital.
Dalam diskusi yang dipandu pengurus AJI Padang Afdal Afrianto itu, terungkap ragam pengalaman serangan digital hingga teror yang dialami beberapa aktivis dan mahasiswa.
Pengalaman-pengalaman itu semakin menyadarkan peserta diskusi tentang pentingnya keamanan digital dan adanya upaya teror, yang diduga untuk mengekang daya kritis publik.
Di akhir diskusi, para pembicara sepakat bahwa Sumatera Barat membutuhkan wadah kolektif untuk menampung laporan serangan digital.
Wadah ini diharapkan bisa memberikan pendampingan, advokasi, dan solusi teknis bagi aktivis serta masyarakat sipil yang menghadapi ancaman digital. (rdr)

















