“Soal perpanjang SIP ke RS lain tak ada hubungannya dengan isentif. Cuma memang saya belum terima aja,” katanya di ruang kerjanya di RS Bethesda Gunungsitoli malam ini.
RSUD dr. M. Thomsen Nias merupakan rumah sakit rujukan utama di Kepulauan Nias. Dengan cakupan layanan yang luas, keberadaan dokter spesialis bedah sangat krusial untuk menjamin keselamatan pasien.
Minimnya tenaga medis terjadi karena jumlah dokter bedah yang aktif hanya tersisa satu orang. Salah satu dokter bedah, dr. Hajriadi Syah Aceh, SpB, mengaku sudah tidak lagi praktik di RSUD Thomsen sejak Juni 2025.
Ia tidak memperpanjang surat izin praktik (SIP) karena menilai manajemen rumah sakit tidak transparan dalam pengelolaan insentif dokter.
Menurut Hajriadi, insentif senilai Rp4,5 juta per bulan tidak pernah diterimanya sejak Juli–Desember 2024 hingga Januari–Juni 2025. Padahal, ia mendapat informasi dari manajemen bahwa dana tersebut sudah cair.
“Katanya insentif sudah dicairkan, tapi sampai sekarang tidak masuk ke rekening saya,” kata Hajriadi, yang akrab disapa dr. Adi.
Ia menambahkan, insentif baru bisa dicairkan jika dokter memenuhi absensi melalui sistem faceprint. “Saya baru tahu soal absensi faceprint setelah masalah ini muncul,” ujarnya.
Persoalan serupa juga dialami dokter lain, seperti dr. Jefry Adikam Sitepu yang kini memilih praktik di rumah sakit swasta.
Para dokter sudah menyampaikan surat resmi kepada manajemen rumah sakit untuk meminta penjelasan, namun hingga kini belum ada jawaban memadai. “Bukan hanya dokter bedah, ada juga dokter jiwa, jantung, dan lainnya yang mengalami masalah sama,” tambah Hajriadi.
Penjelasan Manajemen RSUD Thomsen
Pihak RSUD Thomsen Nias membenarkan bahwa poli bedah saat ini belum bisa beroperasi optimal. Menurut Humas RSUD Thomsen, Benhard Doloksaribu, keterbatasan terjadi karena hanya ada satu dokter bedah yang melayani.
“Untuk sementara, layanan poli bedah difokuskan pada kegawatdaruratan, operasi, dan rawat inap. Dokter yang ada tidak mampu melayani poli sekaligus rawat inap,” jelas Benhard.
Direktur RSUD Thomsen, dr. Noferlina Zebua, membantah adanya penahanan hak dokter. Menurutnya, pembayaran insentif dan TPP dilakukan sesuai aturan dan hanya bisa dicairkan bila ada bukti kehadiran yang sah melalui absensi digital.
“Tidak ada hak pegawai yang ditahan jika kewajiban sudah dipenuhi,” tegas Noferlina.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Keuangan dan Perencanaan, Ersan Kenedy Harefa, yang menyebut absensi faceprint adalah dasar sah pencairan insentif.
“Sistem absensi digital memastikan pembayaran jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya, didampingi Kepala Bagian Tata Usaha, Rini Kurniawati Nduru.
Meski dihadapkan pada polemik, manajemen memastikan pelayanan pasien tetap diprioritaskan. “Kami berharap masyarakat memahami bahwa regulasi dan sistem disiplin harus dijalankan demi pelayanan yang transparan dan lebih baik,” tutup Noferlina. (rdr-tanhar)

















