Lukman menekankan bahwa predikat internasional bukan sekadar label. Setiap bandara wajib memenuhi standar keselamatan, keamanan, dan pelayanan sesuai ketentuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Fasilitas imigrasi, bea cukai, dan karantina harus tersedia lengkap sebelum melayani penerbangan luar negeri. Pemerintah juga memberi batas waktu enam bulan bagi bandara yang baru ditetapkan untuk melengkapi semua persyaratan tersebut.
Kebijakan ini sejalan dengan poin Asta Cita Presiden Prabowo yang menekankan penguatan konektivitas nasional dan internasional.
Peningkatan jumlah bandara internasional diharapkan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi yang merata, mengurangi kesenjangan antarwilayah, serta mempercepat pemerataan pembangunan.
“Transportasi udara adalah urat nadi perdagangan dan mobilitas manusia di era global. Langkah ini akan memastikan pertumbuhan ekonomi tidak hanya bertumpu pada kota besar, tetapi juga menjangkau pelosok negeri,” kata Lukman.
Untuk itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara akan memantau sejak tahap persiapan hingga bandara resmi beroperasi penuh. Evaluasi kinerja dilakukan minimal setiap dua tahun sekali untuk memastikan kualitas layanan tetap terjaga.
Jika kinerja dinilai baik, status internasional akan dipertahankan; sebaliknya, jika tidak memenuhi standar, akan ada penyesuaian status.
Dengan kebijakan ini, Indonesia kini memiliki 40 bandara berstatus internasional yang siap melayani penerbangan luar negeri.
Bukan sekadar menambah jalur penerbangan, langkah ini adalah strategi untuk memastikan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan, dari Sabang sampai Merauke. (rdr/infopublik)

















