“Satpol PP bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam juga sudah tiga kali menyampaikan peringatan tapi itu tidak diindahkan,” ujarnya.
Atas dasar itu, Kemenhut bersama TNI/Polri, Satpol-PP dan pemerintah provinsi dan daerah melakukan tindakan tegas berupa penutupan seluruh aktivitas di kawasan TWA Megamendung.
Sementara itu, tokoh adat Nagari (desa) Singgalang, Kabupaten Tanah Datar sekaligus pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Singgalang Yunelson Datuak Tumangguang mengatakan eksekusi atau penutupan yang dilakukan Kemenhut tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat.
“Eksekusi hari ini tanpa adanya koordinasi pemerintah terutama gubernur,” kata Datuak Tumangguang.
Ia mengatakan pascabanjir bandang yang melanda desa itu belum ada gubernur atau bupati berdiskusi dengan tokoh adat setempat. Padahal, setelah kejadian itu, pihaknya menyebut sudah mengundang gubernur untuk menyikapi kondisi yang terjadi.
“Jadi, untuk masalah eksekusi hari ini akan kita coba bicarakan dan tentunya kami tegak dengan hukum,” ujarnya.
Salah satu alasan kuat masyarakat setempat menolak eksekusi di TWA Megamendung dikarenakan kawasan itu diklaim sebagai tanah ulayat masyarakat.
“Ini tanah ulayat yang dibuat pemerintah Belanda menjadi kawasan hutan lindung. Jadi, kawasan hutan lindung ini kawasan kami,” kata dia menegaskan. (rdr/ant)

















