Meski sebagian dari anjloknya IHSG dipicu oleh tekanan eksternal seperti pandemi geopolitik di Eropa dan kenaikan suku bunga AS, respons negatif pasar atas kebijakan impor di dalam negeri jelas terekam.
Pesan yang seharusnya meyakinkan bahwa penghapusan kuota impor akan memperkuat rantai pasok lokal, justru dibaca sebagai indikasi bahwa pemerintah tidak cukup berhati-hati menjaga industri domestik.
Ini adalah kegagalan komunikasi kebijakan pada level paling dasar: pemerintah belum berhasil menyampaikan apa yang mereka maksud, bagaimana implementasinya, serta mitigasi resiko bagi pelaku usaha.
Krisis Kepercayaan Publik: Dari Kebijakan ke Praktik
Lebih jauh daripada implikasi ke pasar modal, kegagalan komunikasi ini turut memperuncing krisis kepercayaan publik. Masyarakat khususnya petani, peternak, dan pelaku UMKM semakin skeptis atas klaim pemerintah tentang “keseriusan” mendukung produksi lokal.
Ketika kuota impor dihapus, praktis pemerintah masih mengandalkan tarif impor sebagai instrumen proteksi. Namun, besaran tarifnya pun kerap berubah-ubah, kadang naik, kadang diturunkan, tanpa sosialisasi memadai.
Akibatnya, banyak pelaku usaha merasa terombang-ambing, tidak tahu apakah harus menambah stok bahan baku untuk mengantisipasi kelangkaan, atau menahan diri menunggu harga impor turun.
Ketidakpastian ini memicu retorika publik bahwa pemerintah “jatuh dari pohon” dalam merancang kebijakan, dan bahwa elit politik lebih peduli pada kepentingan kartel impor.
Krisis kepercayaan publik ini kemudian menyebar ke wacana yang lebih luas. Narasi negatif semakin diperkuat ketika isu impor daging babi dan ayam tetap marak, sementara harga daging di pasar domestik kerap melonjak tinggi.
Bisa dipahami jika masyarakat yang sehari-harinya merasakan beban harga kebutuhan pokok langsung menuding bahwa kebijakan penghapusan kuota berpihak pada kroni pengusaha besar, sementara rakyat kecil menanggung risiko.
Insiden Pengiriman Bangkai Tikus dan Kepala Babi ke Tempo: Simbol Kekesalan Ekstrem
Puncak kekerasan simbolis terhadap pemerintah terjadi saat sekelompok netizen atau aktivis yang tidak puas mengirimkan paket berisi bangkai tikus dan kepala babi ke kantor redaksi Tempo pada pertengahan Mei 2025.
Aksi ini dimaksudkan sebagai ungkapan protes teramat dalam atas kebijakan impor yang dianggap mencemari pasaran Indonesia.
Mengapa daging babi? Mengapa tikus? Di satu sisi, simbolisme biologis tersebut memunculkan citra “kotor”, “berbahaya”, dan “pasar gelap” seakan-akan menuding bahwa kebijakan pemerintah membuka pintu bagi barang-barang terlarang dan berkualitas rendah.
Di sisi lain, insiden ini mendemonstrasikan betapa ekstremnya ketidakpuasan publik, ketika dialog formal dianggap tak dihiraukan.
Dari sudut komunikasi, isi paket tikus dan kepala babi menjadi “pesan” yang mudah viral. Masyarakat yang sudah skeptis pun menyambut narasi ini dengan retweet, repost, dan komentar pedas.
Padahal, sedikit pun tidak ada bukti bahwa bangkai tikus dan kepala babi tersebut memang dikirim oleh importir besar atau pejabat pemerintah.
Tapi ketika rasa frustasi sudah di puncak, logika rasional kalah oleh emosi simbolik. Reaksi pemerintah yang sempat bungkam, baru kemudian mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebutkan kemungkinan besar dilakukan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab demi kepentingan politik atau kampanye hitam.
Nyatanya, timing insiden ini sangat berdekatan dengan gejolak IHSG dan panasnya perdebatan soal kebijakan impor. Semua itu semakin memperparah narasi bahwa pemerintah tidak siap menghadapi konsekuensi sosial jika komunikasi publiknya buruk. (***)
















