Sutradara Monty Tiwa, yang telah 25 tahun berkecimpung di industri film, menyebut gaya ini sebagai eksperimen baru. “Saya sendiri tidak tahu teori apa ini,” ungkapnya dengan nada setengah serius.
Meski terlihat kacau, struktur cerita tetap terjaga berkat penyuntingan yang rapi dan dialog punchline yang segar. Film ini juga membawa istilah baru: “scientific comedy” — humor dengan rumus tersendiri yang dianggap bisa dipelajari dan diracik layaknya sains.
Selain GJLS dan Bucek Depp, film ini diperkuat oleh aktor seperti Umay Shahab, Reynavenzka Deyandra, Maxime Bouttier, serta Muhammad Kadavi yang memerankan tokoh dengan kondisi bibir sumbing, menambah warna unik dalam cerita.
Musik latar juga memainkan peran penting, termasuk lagu tema dangdut “Feromon” yang dinyanyikan Bucek dan Nadya Arina, serta soundtrack “Akhir Awal” karya Gusti Irwan Wibowo.
Eksekutif produser Indra Yudhistira, yang dikenal sebagai tokoh penting di balik kebangkitan Stand Up Comedy Indonesia, turut mendukung proyek ini.
Menurut Ananta Rispo, GJLS berharap bisa mengikuti jejak Dono, Kasino, Indro, tak hanya sebagai ikon lawak, tapi juga melalui konsistensi karya film.
Di tengah geliat perfilman nasional pasca-kesuksesan film animasi “Jumbo”, kehadiran mumblecore ala lokal ini menunjukkan bahwa selera humor Indonesia makin beragam dan terbuka terhadap pendekatan baru. (rdr/ant)

















