Kasus ini berawal pada tahun 2015, ketika PT PE menerima kredit dari LPEI senilai sekitar 60 juta dolar AS atau Rp988,5 miliar. Kredit tersebut disalurkan dalam tiga termin, namun kondisi keuangan PT PE yang tidak sehat, dengan rasio lancar (current ratio) di bawah 1, seharusnya membuat perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman lebih lanjut.
Namun, direksi LPEI tetap melanjutkan pemberian kredit meskipun ada laporan dari bawahannya bahwa PT PE kesulitan membayar cicilan dan tidak memiliki agunan yang memadai. Bahkan, PT PE diketahui telah membuat kontrak palsu untuk mengajukan kredit, yang juga diabaikan oleh direksi LPEI.
Budi menegaskan, para tersangka tetap memberikan kredit meski sudah ada peringatan dari pihak analis dan bawahan mereka, yang menyarankan agar kredit tidak disetujui karena kondisi PT PE yang tidak layak. “Mereka bersepakat untuk mempermudah proses pemberian kredit tersebut,” ujar Budi.
KPK kini masih menunggu perhitungan lebih lanjut dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait besaran kerugian keuangan negara yang timbul akibat kasus ini. (rdr/ant)

















