“Kami juga mengundang anak-anak untuk mendengarkan langsung pengalaman mereka, misalnya ketika akses media sosial mereka dibatasi,” ungkap Fifi.
Menurutnya, masukan dari para pakar dan anak-anak cukup mewakili pemangku kepentingan secara komprehensif.
Kreator Digital Halimah mengungkapkan bahwa terdapat pendapat bahwa pemerintah tidak perlu merilis regulasi pembatasan akses internet anak dan cukup mengandalkan peran orang tua.
Namun, berdasarkan skor Program for International Student Assessment (PISA), tingkat literasi digital orang tua di Indonesia masih rendah.
Sementara Co-Founder Ayah ASI Agus Tahmat Hidayat mengusulkan agar platformdigital memberikan notifikasi jika ada unggahan terkait konten anak. “Jangan sampai menggunakan anak untuk kepentingan finansial,” tegasnya.
Senada, Psikolog Anak dan Remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengungkapkan tipe orang tua dalam menghadapi tantangan digital.
“Ada orang tua yang menyadari dampak digital dan mampu mengelola serta mendampingi anak dengan baik, namun ada juga yang tidak peduli,” ujarnya.
Vera juga menyoroti dampak negatif paparan digital pada anak, seperti gangguan perkembangan bicara pada anak usia tiga sampai empat tahun yang sering dianggap sebagai gangguan spektrum autisme (ASD).
Ia mengharapkan pemerintah dapat mengeluarkan regulasi yang lebih ketat mengenai tata kelola pelindungan anak.
“Edukasi terkait dampak media sosial dan game harus dilakukan secara berulang. Tempat-tempat umum seperti restoran atau bioskop bisa menerapkan aturan ‘no gadget allowed’ untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi anak,” tutup Vera. (rdr/komdigi)

















