“Saya tidak pernah membayangkan bisa berada di titik ini. Dulu, setiap berita yang saya kirim lewat pos, saya tunggu dengan harap-harap cemas. Ketika dimuat, rasanya seperti mendapat hadiah besar,” kenang Syam dengan mata yang berbinar.
Ia ditempa oleh mentor keras, Syahruddin Said alias Pak Indin, yang mengajarinya pentingnya disiplin dalam menulis. “Kalau berita bertele-tele, jangan harap bisa tembus redaksi,” ujarnya mengenang gaya didikan sang mentor.
Perjalanan panjang itu membawa Syam pada puncak karir jurnalistiknya. Ia telah menulis sejumlah buku yang menjadi rujukan penting, termasuk Gempa Besar Sumbar dan Tsunami Mentawai.
Pekanbaru, Pilihan Makna dan Harapan Baru
Pilihan Syam ke Pekanbaru bukanlah soal jarak atau kenyamanan, tetapi soal makna. Bagi Syam, Pekanbaru adalah simbol arah baru bagi dunia pers, tempat insan pers berkumpul dengan semangat kebersamaan, jauh dari perpecahan.
“Saya merasa lebih nyaman di sini. Ini bukan sekadar tentang penghargaan, tapi tentang keberpihakan kepada semangat pers yang lebih besar,” ujarnya dengan suara tegas.
Ketua PWI Sumbar, Widya Navies, juga menambahkan bahwa peringatan HPN di Pekanbaru adalah momentum penting untuk merajut kembali persatuan jurnalis di tengah tantangan besar.
“Syam telah menunjukkan bahwa dalam dunia jurnalistik, keberanian menentukan pilihan adalah sesuatu yang harus dihormati,” katanya.
Langkah Syam ke Pekanbaru menjadi inspirasi bagi banyak jurnalis muda. Di sana, ia tak hanya menerima PCNO, tetapi juga menandai babak baru dalam perjalanan panjang dunia pers Sumbar.
“Bagi saya, ini adalah pelabuhan yang tepat. Saya bangga berdiri di sini, merayakan profesi yang saya cintai selama puluhan tahun,” ujar Syam menutup perbincangan dengan senyum puas. (rdr/ist)

















