Selain itu, Mahkamah juga mengingatkan bahwa jika aturan ini terus dipertahankan, besar kemungkinan pemilu presiden hanya menghasilkan calon tunggal.
Hal ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang menjunjung keberagaman pilihan.
Gugatan terkait presidential threshold sebelumnya kerap diajukan ke MK, tetapi selalu ditolak. Kali ini, gugatan yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, serta aktivis seperti Titi Anggraini dan Yayasan Netgrit, berhasil memenangkan perkara.
“Putusan ini mengembalikan esensi demokrasi, memberikan hak setara kepada semua partai politik untuk mengusung pasangan calon,” ujar Titi.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa penghapusan ambang batas ini tidak berarti membuka pintu bagi munculnya terlalu banyak pasangan calon yang dapat merusak demokrasi.
Oleh karena itu, MK memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang agar menciptakan mekanisme yang tetap menjaga keseimbangan kompetisi politik.
Meski menyatakan Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, MK menggarisbawahi perlunya revisi UU Pemilu agar implementasi demokrasi tetap terjaga.
Dalam revisi tersebut, MK menyarankan:
- Semua partai politik peserta pemilu berhak mencalonkan pasangan capres-cawapres.
- Gabungan partai politik tidak boleh menyebabkan dominasi hingga mengurangi pilihan pemilih.
- Partai yang tidak mencalonkan pasangan capres-cawapres dapat dikenai sanksi administratif.
Putusan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia, sekaligus membuka peluang lebih besar bagi rakyat untuk menikmati demokrasi yang lebih adil dan inklusif. (rdr/mkri)
















