Eko mengatakan bahwa BUMNag di Pesisir Selatan yang aktif bergerak di berbagai bidang usaha, seperti penyediaan air bersih, di bidang pertanian (agen penjual hasil padi warga di nagari), warung kelontong (kebutuhan sehari-hari), fotokopi, dan usaha simpan pinjam.
Selama mendampingi pemerintah nagari untuk mengaktifkan dan merevitalisasi BUMNag, Eko menemukan sejumlah kendala, misalnya kurangnya inovasi dan kreativitas pengurus dalam menjalankan dan mengembangkan potensi usaha di nagari.
Ia menyebut bahwa hal itu yang menjadi penyebab banyaknya BUMNag di Pesisir Selatan yang mati suri.
Hal itu, kata Eko, menjadi salah satu alasan pemerintah nagari belum fokus memberikan modal kepada BUMNag walaupun sudah ada dan pengurusnya telah terbentuk.
“Modal BUMNag bisa diambil dari dana desa sesuai dengan kesepakatan pemerintahan nagari. Modalnya bisa juga dicari dari investor atau pihak swasta,” ujarnya.
Menurut Eko, kendala terbesar merevitalisasi BUMNag ialah mencari orang yang mau menjadi pengurus. Ia mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak mau menjadi pengurus karena tidak ada gajinya.
“Gaji pengurus diambil dari sisa hasil usaha. Sisa hasil usaha diperoleh jika BUMNag sudah beroperasi dan memiliki keuntungan. Susah mencari orang yang mau bekerja tanpa digaji sebagai pengurus pada awal beroperasi. Makanya, pengurus sebaiknya orang yang punya jiwa kewirausahaan karena sudah memahami bahwa jatuh bangun dalam dunia usaha merupakan hal biasa,” ucapnya.
Eko berharap BUMNag memanfaatkan peluang besar dalam program makan siang bergizi untuk menyediakan bahan baku untuk makanan program tersebut. Ia menyebut bahwa BUMNag yang ingin berperan dalam program tersebut bisa mengembangkan usaha bidang perikanan, pertanian, dan peternakan.
“Jika BUMNag aktif, uang akan berputar di nagari tersebut sehingga ekonomi nagari hidup,” katanya. (rdr/ant)

















