Kasus DBD paling banyak, kata Hasbiansyah, dicatat oleh Puskesmas Tanjung Makmur dengan 49 kasus, kemudian Puskesmas Kambang 29 kasus, Puskesmas Salido 22 kasus, Puskesmas Ranah IV Hulu 18 kasus, Puskesmas Airpura 16 kasus.
Lalu, Puskesmas Koto Baru 14 kasus, Puskesmas IV Koto Mudik lima kasus, Puskesmas Tanjung Beringin lima kasus, Puskesmas Pasar Kuok empat kasus, Puskesmas Balai Selasa empat kasus, Puskesmas Tapan tiga kasus, Puskesmas Pasar Baru satu kasus, dan Puskesmas Inderapura satu kasus.
Meski dua tahun belakangan ini tidak ada penderita DBD di Pesisir Selatan yang meninggal dunia, Hasbiansyah mengimbau masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya penyakit tersebut karena penyakit itu mematikan.
Menurut dia, cara untuk mengantisipasi terjadinya penyakit tersebut ialah dengan tidak membiarkan Aedes aegypti, nyamuk pembawa virus DBD berkembang biak.
“Jumlah kasus DBD meningkat karena kurangnya kebersihan lingkungan masyarakat. Lingkungan harus dibersihkan untuk mengantisipasi berkembangnya nyamuk DBD. Aedes aegypti suka hidup dan berkembang biak di air bersih yang tidak berkontak dengan tanah. Nyamuk itu suka tinggal di tempat tinggal kita, misalnya di penampungan air AC dan pot bunga airnya yang tidak diganti,” tuturnya.
Pihaknya menemukan tempat penampungan air yang tidak terpakai, yang diisi air hujan sebagai wadah berkembangbiaknya Aedes aegypti paling banyak di Pesisir Selatan.
Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk melakukan 3M demi mengantisipasi berkembangnya nyamuk DBD, yaitu menguras bak mandi dan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air.
“Dengan 3M kita memutus rantai siklus hidup nyamuk, membunuh jentik yang akan tumbuh besar dalam 10-12 hari. Sementara itu, fogging hanya membunuh nyamuk dewasa,” kata Hasbiansyah. (rdr/ant)

















