Di satu sisi, hal ini merebut kebersamaan suami dari sang istri, tidak dengan berdarah-darah tetapi dengan semacam hubungan mesra-tapi-aneh.
Di sisi lain, inilah cara menjinakkan realitas. Sang suami hilang diterkam harimau, dan kejadiannya pasti meneror karyawan perkebunan dengan ketakutan berdarah.
Namun, setelah itu dapat diduga siklus kembali lumrah: harimau itu akan diringkus, dan kehidupan perkebunan normal lagi.
Sebaliknya, sang istri memang tidak pernah menunjukkan sikap terkejut atau terteror, dan sikap itu lebih terkesan dingin ketimbang menerima.
Celakanya, sikap itulah yang meneror dengan cara lain, sedikit demi sedikit, pelan, tapi terus berulang dalam hari-hari penantiannya yang tak pasti dan panjang.
Menurut juri, strategi bercerita seperti ini telah membuka arus plot dengan deras, memasuki jeram dan palung tak terduga.
Bahasanya yang kekinian menambah segar seolah air dari lubuk yang cepat bersalin arus sehabis pusaran. Ini hasil nyata dari upaya menyiasati tema, kemudian mengalirkannya melalui eksplorasi bahasa dan psikologi tokoh.
Selain, Iin Farliani, juara 2 adalah Boni Chandra,, Afri Meldam juara 3, kemudian Roby Satria harapan 1 dan Aldino Adry Baskoro meraih harapan 2.
Menurut juri, dasar pilihan untuk karya-karya tersebut adalah kekuatannya sebagai cerita. Pilihan itu bukan sampel berdasarkan tema, usia penulis, maupun daerah asal.
Yang jelas cerpen-cerpen yang dipilih tersaji dengan berbagai gaya dan acuan. Alur kisahnya tak kalah menarik, tokoh-tokohnya hidup dan merasuk ke dalam suatu tatanan (termasuk pohon, hewan, air, angin dan benda-benda yang diproyeksikan sebagai tokoh).
“Semua itu diwadahi olah bahasa yang sangat memadai, beberapa bahkan sangat piawai. Mereka menyajikan masalah kemanusiaan yang sealur dengan visi dan karya-karya A.A. Navis,” ujarnya. (rdr)

















