Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan budaya dan tradisi, dengan masyarakat yang hidup dalam harmoni meskipun terdiri dari berbagai latar belakang agama dan suku.
Fernando Anggiatman – Sekretaris TIDAR Sumatera Barat
Salah satu bukti nyata kerukunan ini dapat dilihat di Kawasan Pondok, sebuah kawasan yang menjadi contoh bagaimana toleransi dan kerja sama antarumat beragama dapat terjalin dengan baik.
Kawasan Pondok merupakan salah satu wilayah di Sumatera Barat yang dihuni oleh masyarakat dengan beragam keyakinan, terutama Islam, Kristen, dan Buddha.
Meskipun mayoritas penduduk Sumatera Barat adalah Muslim, kehidupan di Padang Sarai menunjukkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk saling menghormati dan bekerja sama.
Masyarakat di sini hidup berdampingan dengan damai, saling membantu dalam kegiatan sosial, dan bahkan merayakan hari-hari besar keagamaan bersama dengan penuh toleransi.
Misalnya, saat Idul Fitri, Natal, atau Waisak, warga yang berbeda agama turut serta dalam kegembiraan satu sama lain, saling mengunjungi, dan berbagi kebahagiaan.
Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi KitabullahFilosofi hidup masyarakat Minangkabau yang berbunyi “Adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah” (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur’an) menjadi landasan dalam menjaga harmoni.
Nilai-nilai ini mengajarkan keseimbangan antara tradisi lokal dan ajaran agama, sekaligus menghormati perbedaan.
Tokoh-tokoh agama dan ninik mamak (pemangku adat) di Sumatera Barat aktif mempromosikan dialog antaragama dan menyelesaikan konflik dengan cara musyawarah. Mereka menjadi penengah yang menjaga agar tidak terjadi gesekan akibat perbedaan keyakinan.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun kerukunan umat beragama di Sumatera Barat, termasuk di Padang, terbilang baik, tantangan seperti penyebaran paham radial dan intoleransi tetap harus diwaspadai.
Pendidikan multikultural dan penguatan dialog antaragama perlu terus digalakkan agar generasi muda dapat mewarisi nilai-nilai toleransi yang sudah ada.
Berkaca dari kejadian di Padang Sarai, Konflik yang terjadi dirumah doa lebih diakibatkan kesalahpahaman sosial.
Sejatinya rumah tersebut hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan keagamaan bagi anak-anak warga keturunan Nias yang kesulitan mengakses gereja karena faktor jarak dan ekonomi.
Kerukunan umat beragama bukan sekadar toleransi pasif, melainkan sikap saling menghormati, memahami, dan bekerja sama demi kebaikan bersama.
Ketika umat beragama hidup rukun, dampaknya sangat luas: Mencegah konflik dan perpecahan yang dapat mengganggu ketertiban sosial.
Memperkuat persatuan nasional dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Tunas Indonesia Raya (TIDAR) Sumatera Barat meminta agar aparat penegak hukum dan pihak yang berwenang segera mengusut tuntas penyebab kejadian di Padang Sarai.
Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga merugikan banyak pihak serta wajah kerukunan umat beragama di Sumatera Barat.
Proses hukum berjalan transparan, adil, dan cepat agar keadilan ditegakkan dan pelaku bertanggung jawab. Selain itu, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mengambil langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Masyarakat berharap tidak ada upaya pembiaran atau pengaburan fakta dalam penyelidikan ini. Tidar akan terus memantau perkembangan permasalan ini dan mendorong semua pihak bekerja profesional untuk memastikan keamanan dan ketertiban warga.
“Kita mungkin berbeda keyakinan, tetapi kita satu dalam kemanusiaan dan kebangsaan.” (**)
















